Wednesday, February 17, 2021

Kilas Pandang: KDRT (Hukum, Agama, Sosial)

Artikel ini dibuat saat sedang marak-maraknya berita perceraian figur publik. Tulisan ini akan membahas KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA sebagai satu dari sekian banyak alasan terjadinya keretakan dalam hubungan rumah tangga yang berujung pada perceraian. 

"Tulisan ini tidak dibuat untuk mendiskreditkan salah satu gender, laki-laki dalam  hal ini. Namun, dengan meningkatnya KDRT dan perempuan sebagai  korbannya, maka artikel ini dibuat sebagai bagian dari #womensupportingwomen atas KDRT dari perspektif perempuan. "

MENGAPA HARUS KDRT?

Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2020

Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk tahun 2019 (catatan tahun publikasi 6 Maret 2020), jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah KDRT/RP (RT = rumah tangga; RP = ranah personal). Persentasenya adalah 75% yang ekuivalen dengan 11.105 kasus. Yang menonjol dalam KDRT adalah kekerasan fisik 4.783 kasus (43%), kekerasan seksual 2.807 kasus (25%), kekerasan psikis 2.056 kasus (19%) dan ekonomi 1.459 kasus (13%).  Data kuantitatif ini adalah data yang berhasil dihimpun berdasarkan sinergi antara Komnas Perempuan dengan lembaga mitra pengada layanan di berbagai wilayah di Indonesia.  Lembaga-lembaga tersebut antara lain Pengadilan Negeri (PN), Yayasan, Dinas Sosial (UPTD), Lembaga Bantuan Hukum (LBH). 

Dalam 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan secara umum meningkat 8x lipat. Otomatis KDRT turut menjadi bagian yang juga mengalami peningkatan. Hal ini menunjukan perempuan sangat rentan dengan kekerasan di Indonesia. Ironisnya, dalam kondisi pandemi Covid-19, dari beberapa sumber berita terkait dengan KDRT, Kementerian Pemberdayaan Perempuan mencatat ada ratusan kasus KDRT. Kalau seperti ini, dimanakah tempatnya yang aman bagi perempuan. 

 Saya pernah iseng bertanya kepada teman laki-laki yang sudah jadi bapak-bapak (hehehe), "Pernahkah melakukan KDRT terhadap pasangan?" . Saya malah ditegur balik dengan alasan pamali untuk membicarakan masalah rumah tangga seseorang, kecuali orang tersebut bermaksud mengekspos alias curhat kepada temannya. Tapi ada satu kalimat yang saya ingat betul kerekam di memori saya. "Kalau istri udah ga nurut mungkin bisa saja terjadi." 

Kemarin, 16 Februari 2020, saya menonton konferensi pers salah satu penyanyi wanita yang sedang dalam proses perceraian. Dia akhirnya mengungkapkan bukti-bukti terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang boleh disimpulkan terjadi sejak awal perkawinan. Belajar dari apa yang disampaikannya, saya melihat dia begitu dewasa dalam menyikapi masalah yang dialaminya. Selama perkawinannya, dia mencoba bertahan karena anak dan juga ada masa-masa senang yang pernah dia lewati bersama pasangannya.

Saya lantas teringat dengan tagar #Womensupportingwomen yang viral di di tahun 2020. Tagar ini menggunggah hati saya ini untuk menulis mengapa harus ada KDRT dalam rumah tangga.

Faktor Ekonomi. Dalam kondisi terhimpit masalah ekonomi, kondisi psikis dibutakan untuk bertindak rasional. Sekalinya ada pembahasan atau cekcok masalah ekonomi, ujung-ujungnya KDRT. Yang terjadi istri (dan anak) dijadikan bahan pelampiasan. KDRT juga kerap terjadi pada perempuan yang statusnya ibu rumah tangga. Posisinya yang lemah karena tidak memiliki pekerjaan menjadi tidak dihargai.  Jadi, bersyukurlah bagi teman-teman perempuan IRT yang masih dihargai oleh pasangannya karena kita masih memiliki teman-teman IRT yang menderita akibat KDRT. 

Bagaimana dengan perempuan dengan strata sosial tinggi a.k.a IRT sosialita kaya raya tapi mengalami KDRT oleh pasangannya? Faktanya, faktor ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penyebab KDRT. Kalaupun sosialita mengalam KDRT, kemungkinan adalah terlilit hutang yang banyak. Namun dalam hal tidak ada kaitannya dengan faktor ekonomi, maka kita perlu menilik faktor lainnya. 

Faktor Sosial Budaya. Menurut saya, penyimpangan atas budaya patriarki di Indonesia juga berperan penting terjadinya KDRT. Selain ego yang melekat secara kodrat, laki-laki sebagai pria yang di-agung-kan dalam norma sosial budaya di Indonesia merupakan pelaku terjadinya KDRT. Esensialnya, budaya patriarki tidak mengajarkan seorang suami untuk melakukan kekerasan atas istrinya. Konsep patriarki tidak memberikan pemahaman laki-laki adalah pria yang kuat dan berkuasa penuh atas pasangannya.  Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai posisi dominan pemegang kekuasaan penuh dalam beberapa aspek dikarenakan fisik yang kuat dan berlogika. Mendominasi bukanlah berarti sewenang-wenang kedudukannya. 

Media Indonesia

Jangan heran jika perempuan memperjuangkan emansipasi dimana-mana. Gerakan feminis juga semakin gencar untuk menyebarkan pahamnya. Saya melihat ini wajar melihat tindakan kekerasan yang terus-menerus dilakukan oleh kaum laki-laki. Gerakan long march setiap tahun dilakukan saat International Women Day untuk menunjukan perjuangan perempuan melawan kekerasan. Bukan sekedar unjuk taring atau saingan eksistensi, namun tindakan nyata untuk berjuang melawan kekerasan dari kaum lawan jenis yang setiap tahun mengalami peningkatan. 

Faktor sosial lainnya yang sudah lama terjadi tetapi sekarang lebih sering terekspos karena  eksisnya penggunaan media sosial dimana-mana. Selingkuh. Selingkuh saat ini menjadi penyakit sosial karena terjadi dimana-mana. Ketika perempuan yang diselingkuhi mencoba untuk mempertanyakan status dan haknya sebagai istri di mata suami malah mengalami kekerasan.  

Selain selingkuh, penggunaan narkoba juga merupakan bagian dari faktor sosial terjadinya KDRT. Tidak dipungkiri bahwa dampak penggunaan obat-obat terlarang oleh pria beristri adalah tindakan kekerasan. Selain narkoba, kecanduan alkohol dalam jumlah berlebihan bisa memicu pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Tentunya sulit untuk berbicara dengan seseorang yang berada di pengaruh alkohol atau obat (narkoba). Apa yang benar, bisa dipelintir menjadi salah, dan sebaliknya. Hari ini yang bersangkutan mabuk (teler), besok sadar dan minta maaf. 
Yang kasihan adalah banyak perempuan yang masih terjebak dalam menghadapi KDRT karena faktor alkohol atau obat-obatan. Hero Syndrome. Yah masih banyak perempuan yang mengalami KDRT berulang kali dan memaafkan pasangannya dengan harapan bahwa pasangannya pasti bisa berubah karena KDRT terjadi hanya di bawah pengaruh alkohol atau obat. Singkatnya, masih ada paradigma bahwa perempuan masih bisa menjadi penyelamat. Untuk hal yang satu ini, harus diukur intensitas terjadinya KDRT. Jika sudah menjadi tabiat atau karakter pasangan pasti sulit untuk berubah. Sebelum menyelamatkan yang lain, kita harus pastikan untuk menyelamatkan diri sendiri terlebih dahulu. 

Faktor Internal (Diri Sendiri). Dari beragam jurnal yang dibaca, pemicu KDRT  juga dari diri perempuan. Entah karakter atau perilaku dari masing-masing yang menyebabkan terjadinya pertengkaran sehingga pasangan menjadi bosan, mudah uring-uringan, dan tidak harmonis. Seperti ada gap diantara pasangan. Semakin sering terjadi sehingga seperti gunung es dan tak pelak ujung-ujungnya KDRT. 
Untuk faktor ini seharusnya bisa excuse karena ketika menikah dengan perempuan pilihan, artinya bisa menerima apa adanya. Di saat ada karakter yang berbeda atau menyimpang, lelaki sebagai kepala rumah tangga (imam) harus mampu untuk mengayomi. 


MENGAPA HARUS KDRT?

Tentunya ini pertanyaan yang sulit terjawab karena tergantung pelakunya dan faktor penyebabnya. Bagaimana agar tidak terjadi KDRT? Inilah pertanyaan yang seharusnya direnungkan kembali oleh setiap pasangan.Jika terjadi KDRT, yang hancur bukan hanya perempuan tetapi anak dan keutuhan rumah tangga. 

Apapun itu masalahnya, apapun penyebabnya, perempuan tidak boleh mengalami KDRT. Perempuan tidak pantas diperlakukan semena-mena. Apalagi dalam kodratnya laki-laki dilahirkan dari rahim perempuan. Setidaknya hargailah kodrat ini. 

Harap diingat kembali hubungan perkawinan antara suami dan istri bukan hanya mengenai urusan ranjang dan anak. Hukum negara dalam UU Perkawinan mengatur bahwa hubungan yang dibangun adalah hubungan lahir batin dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. 

Dalam ajaran Islam, ada beberapa hadits mengenai pernikahan yaitu:

  •  ”Ada tiga kelompok manusia yang pasti ditolong oleh Allah: (1) mujahid di jalan Allah; (2) pemuda yang menikah untuk menjaga kehormatan diri; dan (3) budak yang berusaha memerdekakan diri (agar lebih leluasa beribadah)";
  • “Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa-malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah";
  • "Barangsiapa menikah, maka ia telahmenyempurnakan separuh ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah SWT dalam memelihara sebagian lagi

Saya sangat mengapresiasi dan mendukung seluruh program Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk menuntaskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.  Gerakan-gerakan anti kekerasan terhadap perempuan harus didukung. Dapat dilakukan mulai dari hal-hal paling sederhana seperti literasi media anti kekerasan di platform media sosial. Instagram or Twitter, please do your magic.

Penting juga untuk mendukung pemerintah yang terus dan terus dan terus berupaya untuk melakukan penghapusan KDRT. Sebagai upaya nyata dikeluarkan UU Penghapusan KDRT di tahun 2004 dengan pertimbangan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Dalam UU ini sudah diatur sanksi pidana sebagai berikut:
  • Kekerasan fisik, pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda 15 juta rupiah;
  • Kekerasan fisik mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, pidana penjara maksimal 10 tahun atau denda 30 juta rupiah;
  • Kekerasan fisik mengakibatkan matinya korban, pidana penjara maksimal 15 tahun atau denda 45 juta rupiah.

  • Kekerasan psikis, pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda 9 juta rupiah; 
  • Kekerasan psikis yang tidak menimbulkan sakit atau halangan untuk bekerja, pidana penjara maksimal 4 bulan atau denda 3 juta rupiah

  • Kekerasan seksual, pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda minimal 12 juta rupiah / maksimal 300 juta rupiah. 

Bagi teman-teman perempuan yang saat ini mengalami KDRT, jangan takut untuk Speak Up dan laporkan ke pihak yang berwenang. Ingatlah, negara saja mengatur untuk perlindungan korban KDRT bahkan memberikan sanksi pidana bagi pelakunya. Berbagai organisasi perempuan lainnya juga berusaha untuk menghapus KDRT lewat berbagai aksi di dunia nyata maupun dunia maya. 

Lakukan pengaduan di Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak pada setiap propinsi atau langsung hubungi Komnas Perempuan : 021 (3903963)

Oh iya, bagi teman perempuan yang terintimidasi dan tidak merasa aman karena KDRT dan takut speak up langsung, mintalah bantuan lewat isyarat tangan.


Sekali lagi #womensupportingwomen

--------------------==========--------------------

 

 

Baca Juga

No comments:

Post a Comment

...